
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
239
penempatan Narapidana mengharuskan narapidana ditempatkan di Lapas(Sugeng
2017). Hal ini sesuai dengan pengaturan di dalam Undang-Undang No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 7. Secara
eksplisit Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa: Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Kemudian Pasal 1 angka 7
menyebutkan bahwa: Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di LAPAS (Salim, 2013).
Perlu digarisbawahi istilah Lapas (sebagai tempat) dan Narapidana
(sebagai status) karena pengaturan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menegaskan adanya
kewajiban dan hak narapidana (Samosir, 1992), yaitu narapidana ditempatkan di
Lapas untuk kewajiban menjalani pidana atas perbuatannya sekaligus mendapat
hak untuk dibina. Tujuan dari pembinaan bagi narapidana diatur dalam Pasal 1
angka 2 jo Pasal 2 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa (Soekanto, 1982).
Dukungan teori sebagai pembenaran Pasal tersebut di atas adalah teori
pembinaan pemasyarakatan dan teori tujuan pemidanaan. Kehilangan
kemerdekaan sesuai konsep Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan merupakan sebagai sebuah intervensi negara
terhadap hak narapidana untuk bebas setelah memperoleh kekuatan hukum tetap
atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Negara melalui Kementerian
Hukum dan HAM melakukan program pembinaan (dilaksanakan oleh petugas)
sesuai Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, bahwa: narapidana wajib mengikuti secara tertib program
pembinaan dan kegiatan tertentu. Tujuannya agar Narapidana dibentuk menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Soekanto, 2007).
Analisis peneliti bahwa pembinaan sesuai konsep pemasyarakatan
merupakan proses penegakan hukum pidana yang berhubungan erat dengan teori
tujuan pemidanaan yakni untuk mengembalikan narapidana sebagai warga binaan
pemasyarakatan kembali ke dalam masyarakat untuk dapat hidup mandiri dan
berguna di dalam masyarakat. Teori pemidanaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan
dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana (Surbakti & Zulyadi, 2019).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbedaan pengaturan
penempatan semakin jelas dengan adanya perbedaan aturan yang mengatur
penempatan narapidana dan tahanan. Pengaturan penempatan tahanan yakni
ditempatkan pada Rumah Tahanan Negara (RUTAN) (Wijaya, 2011). Istilah
Rutan mulai muncul sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana pengaturan Pasal
22 ayat (1) mengklasifikasikan jenis penahanan dapat berupa: Penahanan Rumah
Tahanan Negara dan Penahanan Rumah.