JOSR: Journal of Social Research
Oktober 2022, 1 (11), 234-243
p-ISSN: 2827-9832 e-ISSN: xxxx-xxxx
Available online at http:// https://ijsr.internationaljournallabs.com/index.php/ijsr
http://ijsr.internationaljournallabs.com/index.php/ijsr
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di
Rumah Tahanan Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Nusa Tenggara Timur
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
1,2,3
, Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Cirebon
4
E-mail: yessymanis86@gmail.com
Abstrak (indonesia)
Received:
Revised :
Accepted:
29 September
2022
05 Oktober
2022
09 Oktober
2022
Latar Belakang: Bagaimana pengaturan hukum terkait
penempatan narapidana dan tahanan di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
Bagaimana pertimbangan hukum penempatan
narapidana yang sisa masa pidananya lebih 12 bulan
pada Rutan Kementerian Hukum dan HAM NTT.
Tujuan: Tujuannya agar Narapidana dibentuk menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif dan empiris yang menekankan pada
segi konsep norma sekaligus penerapannya melalui
penempatan narapidana dan tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan.
Hasil: Pertimbangan hukum penempatan narapidana
yang sisa masa pidananya lebih 12 bulan pada Rutan di
Kementerian Hukum dan HAM NTT yakni: a)Kondisi
Geografis dan kurangnya anggaran., b)Daya dukung
Rutan-Lapas., c) Daya tampung Rutan-Lapas.,) dLapas
terdekat dari Rutan mengalami over kapasitas.,
e)Narapidana dapat dijangkau keluarga.,
f)Kemampuan narapidana membantu tugas di Rutan.
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini, yaitu:
1)Pengaturan penempatan narapidana dan tahanan di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nusa
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
235
Tenggara Timur, meliputi beberapa hal, yaitu: a)Dasar
hukum pengaturan penempatan narapidana dan tahanan
berbeda., b)Petapan Lapas Tertentu Sebagai Rutan.,
c)Penempatan Tahanan di Lapas., d)Penempatan
Narapidana di Rutan.
Kata kunci: Pembinaan; Penempatan Narapidana dan
Tahanan; Pertimbangan Hukum
Abstract (English)
The problems of this research are: 1) How is the legal
arrangements related to the placement of prisoners and
detainees at the Ministry of Law and Human Rights of
East Nusa Tenggara., 2)How is the legal considerations
for placing prisoners whose remaining criminal terms are
more than 12 months in the detention center of the
Ministry of Law and Human Rights NTT. This study uses
normative and empirical legal research methods that
emphasize the concept of norms as well as their
application through the placement of prisoners and
detainees in Correctional Institutions and Detention
Centers. The conclusions of this study are:
1)Arrangements for the placement of prisoners and
detainees at the Ministry of Law and Human Rights of
East Nusa Tenggara, include several things, namely: a)
The legal basis for regulating the placement of prisoners
and detainees is different., b) Determination of certain
prisons as detention centers., c) Placement of prisoners in
prisons., d) Placement of prisoners in detention centers,
2)Legal considerations for placing prisoners whose
remaining criminal term is more than 12 months in
detention at the Ministry of Law and Human Rights of
NTT, namely: a) Geographical conditions and lack of
budget., b) The carrying capacity of the Rutan-Lapas., c)
The capacity of the Rutan-Lapas., d) The prison closest to
the detention center is over capacity., e) Inmates can be
reached by their families., f) The inmates' ability to assist
the task at the Rutan.
Background: What are the legal arrangements
regarding the placement of prisoners and detainees at
the Ministry of Law and Human Rights, East Nusa
Tenggara?
Objective: The goal is that prisoners are formed to
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
236
become fully human, realize their mistakes, improve
themselves, and do not repeat criminal acts so that
they can be accepted again by the community, can play
an active role in development, and can live naturally
as good and responsible citizens.
Methods: This study uses normative and empirical
legal research methods that emphasize the concept of
norms as well as their application through the
placement of prisoners and detainees in Correctional
Institutions and Detention Centers.
Results: Legal considerations for placing prisoners
whose remaining criminal term is more than 12
months in detention at the Ministry of Law and Human
Rights NTT are: a) Geographical conditions and lack
of budget., b) Supporting capacity of Rutan-Lapas., c)
Capacity of Rutan-Lapas.,) dLapas The closest people
from the detention center experience overcapacity., e)
Prisoners can be reached by their families., f) The
ability of prisoners to help with their duties at the
detention center.
Conslusion: The conclusions of this study, namely: 1)
Arrangements for the placement of prisoners and
detainees at the Ministry of Law and Human Rights of
East Nusa Tenggara, include several things, namely:
a) The legal basis for regulating the placement of
prisoners and detainees is different., b) Determination
of certain prisons as detention centers. , c) Placement
of Prisoners in Prisons., d) Placement of Prisoners in
Detention Centers
Keywords: Coaching, Legal Considerations; Placement
of Prisoners; and Detainees
*Correspondent Author : Yesi S. Dodo
Email : yessymanis86@gmail.com
PENDAHULUAN
Rutan Tahanan Negara (Rutan) merupakan salah satu unit pelaksana teknis
di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(Kemenkumham RI) yang berfungsi mengelola para tahanan untuk kepentingan
penyidikan (Atmadja & Gede, 2015), penuntutan dan pemeriksaan di sidang
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
237
pengadilan. Rutan di Indonesia berjumlah 165 unit dengan kapasitas hunian
berjumlah 33.465 orang dan hingga Februari 2020 dihuni oleh 77.759 orang
narapidana dan tahanan. Terjadi kelebihan jumlah penghuni sebanyak 44.294
orang atau 132,35%. Di Kemenkumham Nusa Tenggara Timur pada Februari
2020, kelebihan jumlah penghuni Rutan sebesar 16% dengan kapasitas 2.870
penghuni, namun jumlah penghuni aktual sebanyak 3.318 penghuni (Amiruddin,
2012).
Penelitian ini penting dilakukan mengingat prinsip negara hukum yang
dianut Indonesia sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 aayat (3)
mengedepankan prinsip persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
(Arief, 2013). Artinya bahwa setiap orang memiliki persamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara
empirik. Demikian setiap narapidana memiliki kedudukan yang sama dalam
hukum untuk mendapatkan pembinaan secara optimal di Lapas bagian dari
pemenuhan HAM (Harsono, 1995). Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian
terdahulu, ditemukan beberapa konsep penelitian yang relevan dengan penelitian
ini, sebagai berikut: 1) Penelitian yang mengkaji permasalahan over capacity di
dalam Lapas yang menyebabkan narapidana ditempatkan di rumah tahanan
negara. Kondisi ini menyebabkan petugas mempunyai fungsi ganda yaitu merawat
tahanan dan membina narapidana dalam lingkungan yang sama, yaitu Rutan
(Priyatno, 2006). 2) Penelitian yang mengkaji permasalahan pelaksanaan
pelayanaan dan perawatan Tahanan di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakartayang
terhambat karena masih terdapat Narapidana yang tidak seharusnya berada di
Rutan tersebut (Gedeian, n.d.).
Fokus penelitian ini tentang pengaturan penempatan narapidana di rumah
tahanan negara pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara
Timur (Azhar, 2021). Secara khusus untuk menganalisis masih terdapatnya
Narapidana yang masa pidananya lebih 12 bulan ditempatkan pada Rutan
Kementerian Hukum dan HAM NTT dan sejauh mana pengaturan tentang
penempatan Narapidana tersebut. Oleh karena itu (Rakia, 2021), keaslian
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan asas-asas keilmuan
meliputi kejujuran, rasionalitas (Harsono, 1995), objektifitas dan terbuka, serta
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan
bersifat konstruktif (Syamsi, 1988).
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan empiris
(Marpaung & Asas, 2009). Penelitian hukum normatif digunakan untuk
menganalisis permasalahan pertama yang menekankan segi konsep norma dalam
penempatan narapidana dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan.
Sementara itu penelitian hukum empiris yakni melihat bekerjanya hukum di
Kementerian Hukum dan HAM NTT tentang bagaimana pertimbangan hukum
penempatan narapidana yang sisa masa pidananya lebih 12 bulan pada Rutan
(maria farida 2207).
B. Pendekatan Penelitian
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
238
Pendekatan yang digunakan dalam masalah penelitian pertama, yakni (Effendy,
2018).Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) (Muhammad, 2004).
Pengaturan tentang penempatan Narapidana di Rutan tentu diatur di dalam
Peraturan Perundang-undangan. Hal ini akan mempermudah penggalian konsep-
konsep hukum dengan cara membandingkan (comparative study) berbagai konsep
hukum yang diatur dengan konsep hukum yang dicitakan. Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach) Pendekatan ini digunakan mengingat hukum positif dan
konsep-konsep hukum yang melatarbelakangi aturan penempatan Narapidana di
Rutan maupun Lapas saling berkaitan. Artinya bahwa aturan dibangun atas
konsep-konsep hukum tentang penempatan narapidana dan tahanan (Muladi,
1995).
Pendekatan yang digunakan untuk masalah penelitian kedua, yakni (johan
2008). Pendekatan Sosiologis Hukum Pendekatan sosiologis hukum merupakan
pendekatan yang menganalisis tentang reaksi dan interaksi yang terjadi ketika
sistem norma bekerja di dalam masyarakat. Pendekatan Antropologi Hukum
Pendekatan antropologi hukum merupakan pendekatan yang mengkaji cara cara
penyelesaian suatu masalah di dalam suatu masyarakat. Kedua pendekatan
tersebut digunakan untuk menganalisis pertimbangan hukum penempatan
narapidana yang sisa masa pidananya lebih 12 bulan pada Rutan Kementerian
Hukum dan HAM NTT (Notohamidjojo, 1970).
C. Aspek Penelitian
Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini yakni : Dasar hukum pengaturan
penempatan narapidana dan tahanan di Kementerian Hukum dan HAM
(Wahyono, 1984), Kebijakan hukum penempatan narapidana dan tahanan di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur.
Indikatornya: tahanan dan narapidana (<12 bulan), Pengaturan hukum terkait
penempatan narapidana dan tahanan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nusa Tenggara Timur. Indikatornya:
a. berbagai aturan yang mewajibkan narapidana yang masa sisa pidananya lebih
12 bulan ditempatkan pada Rutan.,
b. Rencana aksi Kemenkumham dalam upaya pemindahan Narapidana yang
masa pidananya lebih 12 bulan dari Rutan ke Lapas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Terkait Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
Dasar Hukum Pengaturan Penempatan Narapidana dan Tahanan
Berbeda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsipnya secara yuridis,
ketentuan yang mengatur penempatan narapidana dan tahanan berbeda. Hal ini
dikarenakan perbedaan status dari narapidana dan tahanan. Narapidana adalah
status bagi seseorang yang telah mendapat kekuatan hukum tetap (inkrah) dari
suatu putusan pengadilan terhadap suatu tindak pidana (Lamintang & Lamintang,
2022). Sementara itu, tahanan merupakan status bagi seseorang yang sementara
menjalani proses hukum sebagai tersangka atau terdakwa yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap (Prakoso, 1986). Secara regulatif pengaturan
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
239
penempatan Narapidana mengharuskan narapidana ditempatkan di Lapas(Sugeng
2017). Hal ini sesuai dengan pengaturan di dalam Undang-Undang No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 7. Secara
eksplisit Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa: Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Kemudian Pasal 1 angka 7
menyebutkan bahwa: Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di LAPAS (Salim, 2013).
Perlu digarisbawahi istilah Lapas (sebagai tempat) dan Narapidana
(sebagai status) karena pengaturan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menegaskan adanya
kewajiban dan hak narapidana (Samosir, 1992), yaitu narapidana ditempatkan di
Lapas untuk kewajiban menjalani pidana atas perbuatannya sekaligus mendapat
hak untuk dibina. Tujuan dari pembinaan bagi narapidana diatur dalam Pasal 1
angka 2 jo Pasal 2 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa (Soekanto, 1982).
Dukungan teori sebagai pembenaran Pasal tersebut di atas adalah teori
pembinaan pemasyarakatan dan teori tujuan pemidanaan. Kehilangan
kemerdekaan sesuai konsep Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan merupakan sebagai sebuah intervensi negara
terhadap hak narapidana untuk bebas setelah memperoleh kekuatan hukum tetap
atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Negara melalui Kementerian
Hukum dan HAM melakukan program pembinaan (dilaksanakan oleh petugas)
sesuai Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, bahwa: narapidana wajib mengikuti secara tertib program
pembinaan dan kegiatan tertentu. Tujuannya agar Narapidana dibentuk menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Soekanto, 2007).
Analisis peneliti bahwa pembinaan sesuai konsep pemasyarakatan
merupakan proses penegakan hukum pidana yang berhubungan erat dengan teori
tujuan pemidanaan yakni untuk mengembalikan narapidana sebagai warga binaan
pemasyarakatan kembali ke dalam masyarakat untuk dapat hidup mandiri dan
berguna di dalam masyarakat. Teori pemidanaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan
dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana (Surbakti & Zulyadi, 2019).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbedaan pengaturan
penempatan semakin jelas dengan adanya perbedaan aturan yang mengatur
penempatan narapidana dan tahanan. Pengaturan penempatan tahanan yakni
ditempatkan pada Rumah Tahanan Negara (RUTAN) (Wijaya, 2011). Istilah
Rutan mulai muncul sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana pengaturan Pasal
22 ayat (1) mengklasifikasikan jenis penahanan dapat berupa: Penahanan Rumah
Tahanan Negara dan Penahanan Rumah.
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
240
Tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 sebagai aturan pelaksana. Pengaturan penempatan tahanan
secara eksplisit termuat dalam Bab III Pasal 18 sampai Pasal 25 dan diketahui
status tahanan bermula dari pengertian Rumah Tahanan Negara pada Pasal 1
angka 2 disebutkan bahwa: Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN
adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dasar aturan yang berbeda
untuk penempatan Narapidana dan Tahanan kemudian dirumuskan ke dalam satu
kesatuan fungsi Kementerian Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan
HAM) (Yamin, 1960), namun dengan nomenklatur keputusan yang berbeda. Hal
ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 9. Perbedaan Pengaturan Penempatan Antara Narapidana dan
Tahanan
Pengaturan organisasi dan tata kerja Lembaga Pemasyaraktan (Lapas) dan
Rumah Tahanan Negara (Rutan) dilihat dari Keputusan Menteri Kehakiman RI
seperti gambar di atas, menunjukkan struktur organisasi tata kerja yang berbeda
dan berlanjut pada perlakuan yang berbeda pula bagi narapidana dan tahanan
dalam proses hukum (perbedaan hak dan kewajiban). Perbedaan yang mendasar
adalah narapidana berhak dibina di Lapas, sementara tahanan berhak dirawat di
Rutan. Didsamping itu, setelah perubahan nomenklatur Kementerian Kehakiman
RI menjadi Kementerian Hukumdan HAM RI di Tahun 2009 belum ada aturan
khusus penempatan narapidana-tahanan di Rutan-Lapas.
a. Petapan Lapas Tertentu Sebagai Rutan
Perkembangan sebelumnya, Rutan (sebagai fungsi) pernah ditempatkan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), sehingga di Lapas tertentu terdapat
tahanan (tersangka atau terdakwa) sebelum terbentuknnya Rutan. Hal ini diatur di
dalam Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
241
Pelaksanaan KUHAP. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1), bahwa
Pembentukan Rutan akan dilakukan secara berangsur-angsur. Sebelum
terbentuknya Rutan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini Menteri Kehakiman
menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai Rutan. Kemudian, dengan
adanya Keputusan Menteri Kehakiman No.M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang
Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara.
Sejalan dengan adanya perkembangan penempatan narapidana dan tahanan, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan penempatan narapidana dan
tahanan di Kementerian Hukum dan HAM NTT berupa: Narapidana ditepatkan di
Rutan dan Tahanan ditempatkan di Lapas. Uraianya adalah sebagai berikut:
b. Penempatan Tahanan di Lapas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Kementerian Hukum dan HAM
NTT, Tahanan yang seharusnya ditempatkan di Rutan juga ditempatkan di Lapas.
Meskipun berbeda satus antara tahanan dan narapidana, namun adanya
penempatan 17 tahanan berdasarkan kekhususan jenis kelamin di Lapas
Perempuan Kelas IIB Kupang telah sejalan dengan norma hukum Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Diatur dalam Pasal 12
bahwa pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lapas dilakukan
penggolongan atas dasar: umur; jenis kelamin; lama pidana yang dijatuhkan; jenis
kejahatan; dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
c. Penempatan Narapidana di Rutan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Kementerian Hukum dan HAM
NTT, narapidana yang seharusnya ditempatkan di Lapas juga ditempatkan di
Rutan. Hal ini disebabkan karena adanya masalah over kapasitas di Lapas menjadi
dasar banyak narapidana masih ditempatkan di Rutan.Kebijakan non penal yang
dimaksud adalah kebijakan non hukum pidana yang diambil berdasarkan
pertimbangan kapasitas daya tampung Lapas, dan tidak mempertimbangkan
penanggulangan kejahatan terhadap narapidana. Narapidana yang ditempatkan di
Rutan tidak mendapat pembinaan seperti halnya di Lapas. Hal ini dikarenakan
Rutan tidak memiliki spesifikasi pembinaan terhadap narapidana, baik dari segi
sumberdaya petugas sebagai pembina maupun sarana prasarana penunjang proses
pembinaan. Adanya narapidana yang ditempatkan di Rutan menunjukkan
ketidaktaatan terhadap norma hukum Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan penempatan narapidana harus
dipisahkan, diataranya berdasarkan lama pidana yang dijatuhkan dan jenis
kejahatan. Hal ini terlihat pada 773 narapidana yang ditempatkan di Rutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya
yang membahas pengaturan dan pertimbangan hukum penempatan tahanan dan
narapidana di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara
Timur, maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pengaturan hukum
penempatan narapidana dan tahanan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia NTT, meliputi beberapa hal, yaitu: Dasar hukum pengaturan penempatan
narapidana dan tahanan berbeda, Petapan Lapas Tertentu Sebagai Rutan,
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
242
Penempatan Tahanan di Lapas, Penempatan Narapidana di Rutan. Pertimbangan
hukum penempatan narapidana yang sisa masa pidananya lebih 12 bulan pada
Rutan di Kementerian Hukum dan HAM NTT yakni: Kondisi Geografis dan
kurangnya anggaran, Daya dukung Rutan-Lapas, Daya tampung Rutan-Lapas,
Lapas terdekat dari Rutan mengalami over kapasitas, Narapidana dapat dijangkau
keluarga, Kemampuan narapidana membantu tugas di Rutan.
BIBLIOGRAFI
Amiruddin, H. (2012). Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Rajawali Pers.
Arief, Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum PidanaCetakan Ketiga.
Citra Aditya.
Atmadja, I. Dewa Gede, & Gede, Dewa. (2015). Teori konstitusi dan konsep
negara hukum. Malang: Setara Press Dan Anggota IKAPI.
Azhar, Muhammad. (2021). Perlindungan hukum terhadap direksi badan usaha
milik daerah yang telah menggunakan business judgment rule dan tanggung
jawab direksi dalam mengelola perseroan. Universitas Tarumanagara.
Effendy, Marwan. (2018). Teori Hukum dari perspektif kebijakan, perbandingan
dan harmonisasi hukum pidana.
Gedeian, Arthur G. (n.d.). dkk, 1991. Organization Theory and Design,
Universitas Terbuka Jakarta.
Harsono, C. I. (1995). Sistem baru pembinaan narapidana. Djambatan.
Lamintang, P. A. F., & Lamintang, Franciscus Theojunior. (2022). Dasar-dasar
hukum pidana di Indonesia. Sinar Grafika.
Marpaung, Ledeng, & Asas, Teori. (2009). Praktek: Hukum Pidana. Sinar
Grafika, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir. (2004). Hukum dan penelitian hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muladi. (1995). Kapita selekta sistem peradilan pidana. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Notohamidjojo, O. (1970). Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen.
Jakarta, tanpa tahun.
Prakoso, Djoko. (1986). Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHP. Ghalia
Indonesia.
Priyatno, Dwidja. (2006). Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia.
Refika Aditama.
Rakia, A. Sakti R. S. (2021). Perkembangan dan Urgensi Instrumen Hukum
Administrasi Pasca Penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada
Masa Pandemi Covid-19. SIGn Jurnal Hukum, 2(2), 157173.
Salim, H. S. (2013). Penerapan Teori hukum pada penelitian tesis dan disertasi.
Samosir, C. Djisman. (1992). Fungsi pidana penjara dalam sistem pemidanaan di
Indonesia. Binacipta.
Soekanto, Soerjono. (1982). Pengantar Penelitian Hukum Edisi Kedua. Jakarta:
UI Press.
Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Surbakti, Friwina Magnesia, & Zulyadi, Rizkan. (2019). Penerapan Hukum
Yesi S. Dodo
1
, Jimmy Pello
2
, Dhey W. Tadeus
3
,Royyan Hafizi
4
/ JOSR: Journal of Social
Research, 1(11), 234-243
Pertimbangan Hukum Penempatan Narapidana Dan Tahanan Di Rumah Tahanan
Negara Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nusa Tenggara Timur
243
terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan.
Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 2(1), 143
162.
Syafii, Asari. (2022). EKSISTENSI KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA
DALAM PROSES PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN JABATAN
PIMPINAN TINGGI PRATAMA DI DAERAH. Magister Ilmu Hukum.
Syamsi, Ibnu. (1988). Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen Umum. Jakarta:
Bina Aksara.
UTAMI, ASRI SONIA, NASUTION, BAHDER JOHAN, & ROSMIDAH,
ROSMIDAH. (2021). IMPLIKASI PERALIHAN HAK ATAS TANAH
YANG DILAKUKAN BERDASARKAN PERBUATAN MELAWAN
HUKUM. Law Journal of Mai Wandeu, 1(2), 155166.
Vellienda, Churnia Dwi, & Harianto, Sugeng. (2020). Panoptikon dan
Hypomnema Dalam Pendisiplinan Tubuh Narapidana Lembaga
Pemasyarakatan. Paradigma, 8(1).
Wahyono, Padmo. (1984). Guru Pinandita. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Wijaya, Andi. (2011). Pemasyarakatan dalam dinamika hukum dan sosial.
Lembaga Kajian Pemasyarakatan, Jakarta.
Yamin, Muhammad. (1960). Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.
Djambatan.
2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under
the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).