JOSR: Journal of Social Research
Oktober 2022, 1 (11), 191-205
p-ISSN: 2827-9832 e-ISSN: xxxx-xxxx
Available online at http:// https://ijsr.internationaljournallabs.com/index.php/ijsr
http://ijsr.internationaljournallabs.com/index.php/ijsr
Kesadaran Beragama dan Pengalaman Beragama
Masyarakat Betawi di Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Dicky Setiady
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
dicky.setiady20@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrak (indonesia)
Received:
Revised :
Accepted:
15 September
23 September
05 Oktober
Latar Belakang: Tradisi-tradisi kebudayaan Betawi
yang bernilai ke-Islaman seringkali sulit dibedakan
antara tradisi Islam dengan tradisi Betawi, karena nilai
Islam sudah sangat ter-internalisasi kedalam tubuh
kebudayaan Betawi.
Tujuan: kesadaran beragama dan pengalaman
beragama orang Betawi khususnya di kecamatan Kebon
Jeruk, Jakarta Barat, bagaimana faktor penyebab
timbulnya, dan hubungannya agama dengan tradisi
Betawi.
Metode: metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan angket, serta pengambilan data dengan
wawancara dan observasi
Hasil: didapatkan hasil bahwa31 orang Betawi yang
diteliti setuju dengan ungkapan orang Betawi itu Islam.
Demikiran pula dalam ritual keagamaan mereka
mayoritas sadar akan keagamaan dengan
terinternalisasinya nilai keIslaman kedalam diri mereka.
Kesimpulan: Setelah bahasan-bahasan sebelumnya
maka dapat dilihat bahwa memang Betawi sangatlah
erat dengan nilai-nilai keagamaan melalui hasil
penelitian dengan mengambil mayoritas suara yang
diperoleh dari 31 orang Betawi yang diteliti, dilihat dari
rentang usia, usia anak-anak cenderung dalam
kesadaran beragamanya dipengaruhi oleh ajakan-ajakan
baik itu orang tua maupun orang-orang sekitar, maka
dari itu penyediaan fasilitas untuk anak berkembang di
masjid sangatlah berguna demi keberagamaan mereka.
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
Kata kunci: Kesadaran, Pengalaman, Beragama,
Islam, Betawi, Kebon Jeruk, Jakarta.
Abstract (English)
Betawi and Islam are very attached to each other, so
there is a mention that the Betawi people are
definitely Muslim. Betawi cultural traditions that
have Islamic values are often difficult to distinguish
between Islamic traditions and Betawi traditions,
because Islamic values have been deeply internalized
into the body of Betawi culture. Looking at the
current conditions, it is very interesting to find out
how the religious awareness and religious experience
of the Betawi people, especially in the Kebon Jeruk
sub-district, West Jakarta, are the factors that cause
this to arise, and the relationship between religion
and Betawi traditions. Testing of the indigenous
Betawi people in every kelurahan in the Kebon Jeruk
sub-district was carried out using a qualitative
research method with a questionnaire approach, as
well as data collection by interview and observation.
From this research, it was found that 31 Betawi
people studied agreed with the statement that Betawi
people were Muslim. Likewise, in their religious
rituals, the majority are aware of religion by
internalizing Islamic values into themselves. The
ta'lim assembly is the main source for the formation
of religious awareness and experience of the Betawi
people with the great role of the ulama and habaib,
coupled with the Betawi cultural tradition which is
already like a religious tradition, increasing the
power of religious awareness and shaping the
religious experience of the Betawi people as well as
possible.
Background: Betawi cultural traditions that have
Islamic values are often difficult to distinguish between
Islamic traditions and Betawi traditions, because
Islamic values have been deeply internalized into the
body of Betawi culture.
Objective: religious awareness and religious
experience of the Betawi people, especially in the
Kebon Jeruk sub-district, West Jakarta, what are the
factors that cause it, and the relationship between
religion and Betawi traditions.
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
Methods: qualitative research methods with a
questionnaire approach, as well as data collection by
interview and observation
Results: The results showed that the 31 Betawi people
studied agreed with the statement that the Betawi
people were Muslim. Likewise, in their religious
rituals, the majority are aware of religion by
internalizing Islamic values into themselves.
Conslusion: After the previous discussions, it can be
seen that Betawi is indeed very close to religious
values through the results of research by taking the
majority of votes obtained from 31 Betawi people
studied, judging from the age range, the age of
children tends to be influenced by their religious
awareness -Invitation to both parents and people
around, therefore the provision of facilities for
children to develop in the mosque is very useful for
their religion.
Keywords: Awareness, Experience, Islam, Betawi,
Kebon Jeruk, Jakarta
*Correspondent Author : Dicky Setiady
Email : dicky.setiady20@mhs.uinjkt.ac.id
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yasmin Zaki Shahab memperkirakan mengenai terbentuknya etnis Betawi
yaitu sekitar tahun 1815-1893. Sebagai sebuah etnis kebudayaan, Betawi memiliki
sejarah yang begitu panjang. Kehadirannya sebagai sebuah suku, tentu saja lahir
dari sebuah rasa kesadaran bersama untuk meneguhkan identitas Betawi yang
berbeda dengan etnis lainnya(Abdurrahman, 2019). Hal ini wajar karena sebuah
etnis dapat terbentuk seringkali karena adanya kesamaan dalam geografis, adat
istiadat, atau sejarah yang unik. Selain itu juga terdapat ppengaruh dari ruang
lingkup politik, agama, sosial, dan budaya. Jakarta sebagai homebase suku Betawi
menjadi tempat bertemunya berbagai kebudayaan. Kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, dan mudahnya akses internet menjadikan semakin mudahnya
pertemuan antar berbagai kebudayaan dalam satu wilayah. Selain itu,
meningkatnya perekonomian berdampak pula pada perkembangan infrastruktur
yang semakin pesat (Budiman, 2015). Pembangunan infrastruktur untuk
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
menunjang perekonomian menjadikan tempat tinggal orang betawi di alih
fungsikan menjadi pusat perekonomian yang biasanya diisi oleh orang-orang non-
betawi (Aulina & Nashori, 2012). Terpinggirkannya tempat tinggal orang betawi
menjadikan tersingkirkannya pula nilai-nilai kebudayaan betawi.
Setiap apa yang terjadi tersebut menimbulkan akibat yang sebenarnya
berdampak cukup besar bagi keadaan sosial masyarakat. Secara umum,
masyarakat Indonesia yang sangat multikultur dapat digolongkan atas dua
kelompok, pertama adalah kelompok yang telah mengalami perubahan sosial
tetapi ia hanya mengalami perubahan yang nilainya sedikit. Kedua, kelompok
yang telah mengalami perubahan sosial bernilai besar (Miharja, Mulyana, &
Izzan, 2019). Kelompok masyarakat yang pertama adalah kelompok masyarakat
yang masih melaksanakan upacara-upacara adat maupun yang berkaitan dengan
religiositas. Begitu pula dalam masyarakat betawi terbagi menjadi dua kelompok
tersebut.
Mengenai keagamaan sendiri pada awalnya identitas orang betawi
tampak rumit, kemudian terdapat usaha untuk mengidentifikasi dan mencirikan
bahwa orang betawi begitu kuat kaitannya dengan agama Islam, bahkan dikenal
istilah mengenai identitas kebetawian yaitu “orang-orang betawi adalah muslim”
(Derani, 2013). Meskipun rata-rata orang betawi itu Islam sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, tetapi tidak dapat dipungkiri pula ada beberapa orang betawi yang
menganut agama non-Islam namun jumlahnya sangatlah sedikit. Meskipun begitu,
agama Islam tetap mengakar sangat dalam pada kebudayaan betawi kita bisa
melihat dalam berbagai upacara adat masyarakat betawi dalam menjalani
kehidupan mereka. Memang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa upacara adat
dalam betawi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangkitkan emosi
keagamaan. Emosi keagamaan tersebut timbul sebab keyakinan dan proses
upacara adat betawi yang sangat didominasi oleh nilai-nilai keislaman. Terkadang
kita seringkali sulit membedakan antara unsur agama dengan unsur adat (Alfahmi,
2020)
Selain itu terdapat pengaruh ulama dalam pembentukan emosi
keagamaan dalam orang Betawi. Islam dan Ulama bagi masyarakat Betawi adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Wakaf, 2006). Ulama
memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat dalam pandangan masyarakat
Betawi. Melalui faktor-faktor tersebut semakin mengeratkan Islam dan Betawi
dengan emosi keagamaan orang-orang Betawi tersebut. Bahkan ustadz Abdul
somad dalam ceramahnya di Badan Musyawarah (Bamus) Betawi bahwa sampai-
sampai apabila orang betawi sedang memgang botol minuman pun kalau adzan ia
letakkan karena bentuk kesadaran beragama atau emosi keagamaa orang betawi
(Hamali, 2016). Pada era modern sekarang dengan berbagai perkembangan yang
sudah disebutkan sebelumnya sangatlah menarik kita mengkaji eksistensi nilai
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
kesadaran beragama orang betawi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
Beserta dengan pengalaman beragama yang diterima orang betawi setelah
mengalami berbagai benturan-benturan kebudayaan baik itu dari dalam negeri
maupun dari luar negeri (Masduki, Sos, & Yuliani Widianingsih, n.d.).
B. KAJIAN PUSTAKA
Keberagamaan Masyarakat Betawi, Menurut William James, Agama adalah
perasaan dan pengalaman bani Insan secara individual, yang menganggap bahwa
mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Menurut
Yosep Nuttin, dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja
dalam diri manusia, seperti halnya dorongan-dorongan lainnya, seperti makan,
minum, dan sebagainya. Dalam Islam dikenal dengan istilah fitrah atau
kecendrungan beragama, dimana manusia yang baru dilahirkan sudah membawa
fitrah keagamaan dalam dirinya. Sebagaimana halnya hadis nabi Muhammad
SAW (Jalaluddin, 2016).
(
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua
orangtuanyalah yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi” (HR. Al-Aswad bin Sari’). Dari hadis diatas maka membuktikan bahwa
dalam Islam anak yang baru lahir pun sudah menjadi manusia yang ber-Tuhan.
Apabila ada orang yang memiliki pemikiran tidak percaya akan adanya Tuhan,
maka itu bukanlah sifat pada asalnya. Melainkan terdapat pengaruh lingkungan
yang memengaruhi pemikirannya (Mastanah, 2017).
Religiositas atau rasa beragama ini adalah ketika terjadi pengalaman
batiniah individu ketika individu tersebut menyadari akan adanya Tuhan yang
maha segalanya (Mulyadi, 2015). Dari kesadaran tersebut terus berproses
sehingga terimplementasikan kepada bentuk ritual peribadatan yang berdampak
kepada perilaku sehari harinya. Untuk mengetahui seseorang capaian orang dalam
beragama diperlukan dua istilah yang menjadi ruang lingkup dalam psikologi
Agama, yaitu kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Kesadaran
beragama adalah bagian agama yang hadir atau terasa dalam pikiran dan dapat
diuji melalui introspeksi (NURRAHMAN, 2020). Kesadaran beragama dapat
dikatakan sebagai aspek mental dalam kegiatan beragama. Sedangkan pengalaman
beragama adalah unsur perasaan yang membawa kepada keyakinan yang
dihasilkan oleh tindakan. Pengalaman beragama seperti orang setelah
melaksanakan ibadah ia menjadi merasa damai dan meneguhkan keyakinan bahwa
agama yang ia jalani adalah agama yang benar sehingga timbul rasa konsisten
dalam ibadahnya. Kesadaran beragama seperti ia tahu bahwa ia harus ibadah
karena perintah agamanya maka itu termasuk kepada kesadaran beragama, lalu
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
didalam ibadahnya ia mengingat kepada Tuhannya maka itu bentuk kesadaran
beragama pula.
Sebagaimana yang telah dijelaskan didalam makalah, kebudayaan Betawi
sangat erat dengan nilai ke-Islaman, maka dari itu dorongan keagamaan orang
Betawi sangatlah besar. Bahkan sebelum mereka dinamai sebagai Betawi, orang-
orang Betawi menyebut mereka dengan sebutan “Selam” yang asal katanya adalah
dari kata Islam. Buya Hamka pun menegaskan akan ke-Islaman orang Betawi
dengan mengatakan bahwa betapa kuatnya masyarakat Betawi dalam beragama
Islam, dimana selama 350 tahun Indonesia dijajah Belanda tetapi sangat jarang
terdengar orang Betawi yang masuk serani (sebutan untuk nasrani), orang Betawi
menganggap bahwa masuk serani adalah sebuah aib yang besar (Rahmah, 2018).
Sejarah tersebut sudah menandakan memang Betawi erat hubungannya dengan
agama, yaitu agama Islam dan ini sudah menandakan sebuah kesadaran beragama.
Kesadaran beragama dan pengalaman beragama pada tiap jenjang usia,
dari anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua memiliki perbedaan masing-
masing (Saifuddin, 2019). Pada fase anak-anak disini berkisar pada rentang usia
6-12 tahun, pengenalan akan ketuhanan masih bersifat doktrin saja juga
mengenali Tuhan sebagaimana yang ia lihat pada sekitarnya, begitupula dengan
peribadatan yang masih pada taraf verbalis dan ritualis. Anak mengenal Tuhan
dengan melihat kekaguman orang dewasa kepada Tuhan. Begitupula dalam
menjalankan perintah agama masih dalam bentuk ia akan mendapat upah jika
mengerjakannya. Anak masih belum mampu membedakan antara kehidupan yang
bersifat lahiriah dengan kehidupan yang bersifat batiniah. Potensi beragama pada
anak akan terus berkembang dan berfungsi optimal di kemudian hari jika melalui
tahap pelatihan dan pembimbingan (Putra, 2019).
Berikutnya pada fase remaja kebanyakan para ahli mengelompokan
periode remaja pada rentang usia 13-21 tahun. Namun khusus untuk
perkembangan ilmu jiwa agama dapat pula masa remaja diperpanjang menjadi 13-
24 tahun. Menurut Abdul Aziz Ahyadi, kesadaran beragama pada masa remaja
yang sangat menonjol adalah pengalaman akan ke-Tuhanan semakin bersifat
individual yang berarti semakin sedikit pengaruh doktrin-doktrin dalam
pemahaman akan ke-Tuhanan, keimanannya semakin menuju kepada realitas yang
sebenarnya, dan peribadatannya mulai disertai dengan penghayatan yang tulus.
Secara sosial, pada usia remaja mereka para anak akan menghadapi berbagai
perbedaan-perbedaan nilai yang terjadi di lingkungannya, yang seringkali
menimbulkan kegelisahan, khususnya apabila terjadi perbedaan antara nilai-nilai
keagamaan yang diajarkan oleh orang tua dengan kenyataan kehidupan yang ia
dapati melalui interaksinya dengan lingkungan, maka ini disebut kontradiksi
nillai.
Berlanjut pada usia dewasa, dimana pada usia ini ditandai dengan
seseorang yang sudah mampu memahami faktor dan dampak atas perilakunya.
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
Ciri dan karakteristik keberagamaan di usia dewasa itu pertama, bergantung pada
bagaimana keberagamaan ia pada fase anak-anak dan remaja. Kedua, ia sudah
beragama dengan pemikirannya sendiri dan bukan lagi atas dasar ikut-ikutan.
Ketiga, ia bersikap positif terhadap apa yang dibawa oleh ajaran agama dan ia
mempelajarinya. Keempat, orang dewasa cenderung bersikap idealis. Kelima,
beragama sudah dilandasi dengan rasa tanggung jawab. Keenam, orang dewasa
sudah bersikap kritis terhadap ajaran agama dimana seringkali orang dewasa
mampu mengevaluasi ajaran agama, oleh karena itu pada fase dewasa seringkali
terjadi konversi agama. Ketujuh, orang dewasa dalam beragama didominasi oleh
tujuan-tujuan sosisal dan perubahan, daripada tujuan akhirat
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan hasil wawancara dengan pendekatan
angket serta melakukan observasi, dengan subjek penelitian terkontrol, yaitu
orang Betawi yang tinggal di dalam kecamatan Kebon Jeruk. Terdapat tujuh
kelurahan yang ada di dalam kecamatan Kebon Jeruk. Setiap kelurahan tersebut
diambil sampel untuk diteliti lebih lanjut, baik itu dengan wawancara maupun
observasi. Dari segi penentuan usia subjek penelitian ini sendiri, peneliti
menggolongkan kepada tiga rentang usia, yaitu 6-12 tahun (anak-anak), 13-24
tahun (remaja), dan usia 24 tahun keatas (dewasa). Alasan peneliti mengambil
sampel subjek penelitian dengan syarat-syarat dengan rentang usia tersebut adalah
untuk mempermudah memberikan kesimpulan yang nantinya dapat
mengkategorisasi kesadaran beragama dan pengalaman beragama mereka, lalu
peneliti tidak mengkategorikan lansia kedalam penelitian in, karena peneliti ingin
mengatahui respon muda-mudi yang menghadapi globalisasi terhadap budaya
Betawi dan keagamaan.
Usaha peneliti untuk menjawab rumusan-rumusan masalah yang ada
adalah dengan observasi dan wawancara, dimana melalui metode tersebut peneliti
berusaha membuktikan teori yang ada di bagian kajian pustaka dengan fakta yang
terjadi di lapangan, melalui sampel-sampel yang sudah di teliti. Peneliti
menganalisis tiap jawaban narasumber dengan memberikan konklusi yang sesuai
dengan fakta yang didapatkan di lapangan. Setiap konklusi yang diberikan selalu
dikaitkan dengan rumusan masalah yang hendak dicari jawabannya, sehingga
diusahakan mampu untuk menjawab setiap pertanyaan tersebut.
Penelitian dilakukan selama 5 hari dengan menggali informasi dari 31
narasumber orang Betawi dan mengobservasi bagaimana kedekatan anak-anak
Betawi dengan agama melalui masjid dan lembaga pendidikan informal di
kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Berbagai kesulitan dialami peneliti dalam
memilah mana orang Betawi asli, mana yang hanya pendatang dari luar daerah
Betawi. Dalam observasi sendiri peneliti melihat keadaan yang disana memang
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
menurut narasumber terkait memang terdapat keikutsertaan orang Betawi
didalamnya. Peneliti berhasil mengambil 31 sampel untuk diwawancara yang
terdiri dari 27 remaja (usia 13-24 tahun) dan 4 orang dewasa (usia lebih dari 24
tahun). Sampel anak-anak dilakukan dengan cara observasi melihat kepada
keadaan beberapa masjid yang ada di daerah kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta
Barat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peneliti berusaha menggali informasi kepada orang Betawi di kecamatan
Kebon Jeruk mengenai keagamaan mereka. Pertamaa-tama peneliti berusaha
mengungkap klaim mereka tentang stigma bahwa sebutan predikat “orang
Betawi” hanya untuk orang Islam saja, hasilnya cukup menarik bahwa dari 31
orang terdapat 29 orang yang setuju, mereka terdiri dari 25 suara dari kaum
remaja dan 4 suara dari kaum dewasa. Sedangkan untuk yang mengatakan tidak
setuju mereka terdiri dari 2 orang remaja. Peneliti menyimpulkan memang
mayoritas orang Betawi mengakui akan klaim sebutan Betawi hanya untuk orang
Islam.
Mengenai kesadaran beragama orang-orang Betawi, peneliti pertama-tama
menanyakan mengenai kesadaran mereka akan kewajiban beribadah kepada Allah
dengan bertanya mengenai respon mereka ketika mendengar adzan
dikumandangkan, 28 orang menyatakan mereka segera bersiap untuk beribadah,
sedangkan terdapat 2 orang dari kalangan remaja tidak bersegera bersiap
melaksanakan ibadah, dan ada pula 1 orang dari kalangan remaja yang seringkali
meninggalkan ibadah. Selanjutnya dalam menggali kesadaran beragama orang
Betawi peneliti juga bertanya mengenai definisi khusyuk” mereka dalam
beribadah kepada Allah. Peneliti memberikan tiga pilihan kepada 31 narasumber
untuk memudahkan mereka dalam menjawab.
Ketiga pilihan tersebut terdiri dari sekedar tidak memikirkan apapun,
memahami bacaan salat, membaca bacaan salat diiringi dengan berzikir kepada
Allah. Dari kalangan orang dewasa Betawi yang terdiri dari 4 orang, 2 orang
mengatakan bahwa khusyuk dalam beribadah itu artinya tidak memikirkan apapun
dalam salat, lalu 1 orang mengatakan bahwa khusyuk dalam beribadah itu dengan
memahami bacaan salat, dan 1 orang mengatakan bahwa khusyuk dalam
beribadah itu berarti membaca bacaan salat disertai dengan berzikir kepada Allah
sepanjang salat. Sedangkan untuk kalangan remaja, terdapat 8 orang mengatakan
bahwa khusyuk dalam beribadah itu berarti tidak memikirkan apapun dalam salat,
lalu terdapat 8 orang pula mengatakan bahwa khusyuk itu berarti memahami
bacaan salat, dan terdapat 11 orang remaja Betawi yang mengatakan bahwa
khusyuk itu berarti membaca bacaan salat dengan diringi zikir kepada Allah. Dari
sini mungkin peneliti menyimpulkan bahwa sebenarnya mayoritas orang Betawi
meyakini akan kewajiban keberagamaan mereka dan adanya Allah yang wajib
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
disembah. Pendapat ini mungkin akan diperkuat lagi dalam bagian pengalaman
beragama mereka.
Dalam menggali pengalaman beragama orang Betawi, peneliti pertama-
tama menanyakan mengenai apa yang dirasakan subjek penelitian setelah ia
melakukan ibadah. Jawaban dari pertanyaan tersebut semuanya mengatakan sama,
yaitu setelah mereka melaksanakan ibadah maka menurut pengakuan mereka,
ketenangan hadir kedalam diri mereka dan rasa akan kecintaan kepada Allah
semakin besar dalam diri mereka. Meskipun dari pertanyaan sebelumnya, mereka
ada yang tidak bersegera melakukan salat, mereka ada yang melupakan salat, dam
beragam definisi khusyuk menurut mereka, tetapi dalam pengalaman setelah
beribadah yang mereka rasakan semua sepakat tentang rasa tenang yang hadir
setelah salat dan rasa kecintaan kepada Allah.
Sedangkan untuk usia anak-anak, mengenai kesadaran beragama dan
pengalaman beragama mereka, melalui observasi dan wawancara dengan warga
setempat, di daerah kelurahan Sukabumi Utara masjid-masjid masih banyak diisi
oleh anak-anak baik Betawi maupun non-Betawi dan mereka sangat sering
melantunkan shalawat sebelum dikumandangkannya adzan maghrib mereka sudah
berkumpul di masjid menunggu pengurus masjid menyiapkan mic untuk mereka
lalu pengurus masjid mendampingi mereka bershalawat, ini merupakan contoh
bimbingan dan pendidikan keagamaan yang baik yang dilakukan di masjid,
peneliti mengambil sampel di masjid Al-Anwar Sukabumi Utara, masjid Al-
Akhyar, musholla Al-Awwabin, dan masjid Al-Madinah. Lalu untuk di daerah
kelurahan Sukabumi Selatan, peneliti mendapatkan informasi dengan wawancara
salah satu warga sekitar masjid Al-Falah mengatakan bahwa anak-anak tidak rutin
melantunkan shalawat bergantung pada ajakan orang lain dalam melakukannya,
sedangkan masjid Assirot menurut observasi peneliti banyak anak-anak yang
bermain di lingkungan masjid dan meramaikan masjid untuk bersholawat dan
sebagainya. Lalu untuk kelurahan Kebon Jeruk, peneliti mengambil sampel pada
masjid As-Surur, anak-anak sangat rajin sekali mengisi sholawatan atau mengikuti
pengajian disana, bahkan melalui wawancara dengan salah satu warga, bahwa
menurutnya memang seharusna masjid diramaikan anak-anak untuk bersholawat
dan sebagainya. Untuk kelurahan Kedoya Selatan, melalui wawancara dengan
salah satu warga sekitar musholla Nurul Huda, mengatakan bahwa anak-anak
hanya kadang-kadang saja meramaikan mushola baik untuk bersholawat maupun
yang lainnya. Di wilayah keodya utara, tanpa menyebutkan nama masjidnya
melalui wawancara dengan salah seorang warga, kegiatan anak-anak baik itu
pengajian maupun bersholawat bersama, sangat sering dilakukan oleh anak-anak
Betawi maupun non-Betawi, dan yang terakhir di daerah Duri Kepa, peneliti
mengambil sampel di masjid Al-Ikhlas melalui wawancara dengan salah satu
warga, mengatakan kegiatan yang ada di masjid Al-Ikhlas sangat ramai diisi oleh
anak-anak baik itu Betawi maupun non-Betawi, kegiatan pengajian dan
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
sholawatan bersama sering dilakukan anak-anak di masjid Al-Ikhlas serta
pengurus masjid pun memfasilitasi hal tersebut.
Setelah semua jawaban itu, peneliti kemudian menggali lebih lanjut
mengenai apa faktor yang melandasi jawaban-jawaban mereka itu. Sudut pandang
yang dipilih peneliti adalah dari segi pendidikan keagamaan orang Betawi.
Pertama-tama peneliti bertanya mengenai pengaruh pendidikan keluarga. Ternyata
dari 31 orang Betawi yang diteliti terdapat 5 orang yang menganggap bahwa
pendidikan keluarga tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan beragamanya.
Kelima orang tersebut semuanya terdiri dari orang Betawi. lalu selanjutnya
peneliti bertanya mengenai pendidikan agama selain keluarga yang memengaruhi
keberagamaan mereka. Terdapat 22 orang menjawab bahwa yang paling
berpengaruh adalah pengajian atau majelis ta’lim yang ada di sekitar mereka,
terdapat 6 orang menjawab bahwa pendidikan agama di sekolah formal lebih
memengaruhi keberagamaan mereka, dan terdapat 3 orang menyatakan bahwa
pondok pesantren lebih memengaruhi keberagamaan mereka. Jika dilihat dari
geografis kecamatan Kebon Jeruk ini sendiri sangat sedikit pondok pesantren
yang berdiri di wilayah ini dibanding dengan keberadaan majelis ta’lim yang
sangat menjamur di Jakarta. Jawaban 5 orang yang mengatakan bahwa pendidikan
keluarga tidak terlalu memengaruhi keberagamaan mereka pun, menurut 4 orang
dari mereka pendidikan di majelis ta’lim-lah yang lebih berpengaruh terhadap
keberagamaan mereka, sedangkan satu orang lagi mengatakan bahwa pendidikan
sekolah formal lebih berpengaruh terhadap keberagamaannya.
Jika dilihat dari hasil penelitian tersebut yang mengatakan bahwa majelis
ta’lim lebih memengaruhi keberagamaan orang Betawi, maka tentu saja itu semua
tidak lepas dari peran habaib dan para ulama yang ada di wilayah kecamatan
Kebon Jeruk. Memang benar saja pandangan peneliti tentang peran habaib dan
ulama memanglah sangat besar, subjek penelitian yang peneliti coba gali
informasi dari 31 orang yang diteliti tidak ada yang mengatakan tidak
berpengaruh, hanya saja terdapat 2 orang yang tidak terlalu memperhatikan
pengaruh dan menganggap peran ulama dan habaib biasa saja. Namun, mereka
tidak memilih pilihan tidak berpengaruh di dalam angket yang diberikan, maka itu
menandakan bahwa mereka juga mengakui peran ulama dan habaib, hanya saja
tidak terlalu mengindahkan.
Jika kita melihat fenomena dakwah yang ada sekarang ini, banyak sekali
para ustadz atau para habaib yang membuat kanal youtube atau media sosial yang
lainnya untuk berdakwah. Namun sudah pasti konten media sosial tersebut
bercampur dengan konten yang sifatnya bertengan dengan agama maupun norma
yang ada. Peneliti tertarik menggali informasi dari 31 orang yang diteliti tersebut
mengenai pengaruh media sosial terhadap keberagamaan mereka. Dari jawaban
mereka terdapat 29 orang yang mengatakan bahwa pergerakan media sosial sangat
memengaruhi mereka dalam mempelajari agama sedangkan 2 orang lagi
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
mengatakan tidak berpengaruh, mereka adalah golongan remaja. Selanjutnya,
mengenai tradisi Betawi sendiri peneliti berusaha mengetahui pengetahuan 31
subjek penelitian mengenai tradisi Betawi. Hasilya sebagai berikut:
Hasil diatas memang dipengaruhi oleh eksistensi tradisinya sendiri, untuk
kalangan dewasa mungkin mengetahui tradisi yang cenderung di era sekarang
sudah sedikit. Namun untuk golongan remaja mereka hanya mengetahui tradisi-
tradisi yang masih terkenal sampai sekarang seperti palang pintu dan adat
pernikahan Betawi, namun tetap saja yang mereka tahu dari adat pernikahan
Betawi pun tidak mendalam. Peran media sosial pun sebenarnya 29 orang dari
mereka mengatakan penting untuk pengetahuan mereka akan kebudayaan Betawi.
Lalu, peneliti mencoba mengkaji lebih lanjut hubungan antara tradisi tersebut
dengan kesadaran beragama dan pengalaman beragama mereka. Hasilnya dari 31
orang subjek penelitian hanya 1 orang saja yang mengatakan bahwa itu biasa saja
dan tidak terlalu berpengaruh, namun ia juga tidak mengatakan tidak berpengaruh.
Sedangkan 30 orang mengatakan berpengaruh, bahkan 14 orang dari mereka
mengatakan sangat penting terhadap keberagamaan mereka.
Terdapat tradisi pula yang sangat sering dilakukan oleh orang Betawi baik
itu di majelis ta’lim maupun di setiap acara-acara yang dilakukan orang Betawi,
yaitu maulid. Bahkan melalui pengalaman dan observasi peneliti, tradisi orang
Betawi di daerah kelurahan Kebon Jeruk, mereka sebelum melaksanakan akad
nikah pun melakukan tahlil dan maulid terlebih dahulu. Melihat tradisi tersebut,
peneliti pun ingin mengetahui seberapa besar pengaruh maulid kepada 31 orang
subjek penelitian tersebut. Maka betul saja maulid membawa pengaruh yang besar
terhadap kesadaran beragama dan pengalaman beragama mereka, bahwa 30 orang
dari mereka mengatakan maulid berpengaruh terhadap keberagamaan mereka dan
hanya satu orang yang mengatakan tidak berpengaruh, bahkan 18 orang dari 30
orag tersebut menegaskan bahwa maulid sangat berpengaruh terhadap kesadaran
beragama dan pengalaman beragama mereka.
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
Sebagai penutup, peneliti meminta para subjek penelitian menyampaikan
seberapa pentingnya agama dan mempelajarinya bagi mereka. Pertanyaan ini
nantinya sangat berpengaruh pada hasil kesadaran beragama mereka. Jawaban
mereka beraneka ragam, dan semua mengatakan sangat penting, dengan alasan
menghadapi zaman yang penuh fitnah dan sebagainya, dengan melihat kepada
kesalamatan diakhirat, dengan melihat bagaimana kita bertindak dilingkungan
masyarakat, juga ada yang menganggap bahwa hidup tanpa ada agama selama 3
hari maka itu akan membawa kita kepada matinya hati, lalu ada pula yang
mengatakan bahwa mengetahui ilmu agama itu sangat wajib bagi orang Betawi
sampai mengatakan bahwa orang Betawi yang tidak bisa mengaji maka ia belum
bisa disebut sebagai orang Betawi, dan juga ada yang mengatakan bahwa suatu
kampung yang tidak ada kegiatan agama didalamya maka kampung itu pasti akan
hancur. Dari pernyataan tersebut sangat menegaskan akan kesadaran pentingnya
beragama bagi masyarakat Betawi.
KESIMPULAN
Setelah bahasan-bahasan sebelumnya maka dapat dilihat bahwa memang
Betawi sangatlah erat dengan nilai-nilai keagamaan melalui hasil penelitian
dengan mengambil mayoritas suara yang diperoleh dari 31 orang Betawi yang
diteliti, dilihat dari rentang usia, usia anak-anak cenderung dalam kesadaran
beragamanya dipengaruhi oleh ajakan-ajakan baik itu orang tua maupun orang-
orang sekitar, maka dari itu penyediaan fasilitas untuk anak berkembang di masjid
sangatlah berguna demi keberagamaan mereka. Sedangkan pengalaman beragama
mereka lebih kepada melihat figur seseorang disekitarnya maka timbullah
pengalaman beragama, seperti melihat temannya bersholawat dan ternyata timbul
rasa senang dalam hati mereka akan kegiatan tersebut. Sesuai dengan teori yang
ditulis oleh Ahmad Saifuddin dalam bukunya, yang ia menutip dari Zakiah
Daradjat yang mengatakan bahwa perasaan akan ketuhanan dan keagamaan anak
akan muncul dan berkembang setelah ia melihat reaksi orang sekitarnya yang
disertai dengan emosi dan perasaan tertentu.
Sedangkan pada remaja Betawi mereka memang dibekali akan dogma
keagamaan yang sangat kuat melalui tradisi dan pendidikan yang berkembang di
masyarakat Betawi. mereka sudah bisa menjelaskan pentingnya beragama untuk
mereka dan mengetahui bagaimana perasaan mereka dalam beribadah serta
mengetahui bagaimana khusyuk yang seharusnya dengan alasan yang mereka
pahami. Meskipun begitu mereka walaupun nilainya minoritas, tetap mengalami
dinamika naik turunnya iman, seperti mereka para subjek penelitian 100%
mengalami ketenangan dan kecintaan kepada Allah setelah mereka melakukan
ibadah namun tetap saja ada yang menjawab setelah mendengar azan ia tidak
bersegera melaksanakan ibadah maupun sering melakukan ibadah. Juga pada daya
khusyuk dalam ibadah sendiri, meskipun sudah mengalami pengalaman beragama
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
yang penting setelah beribadah, namun dalam khusyuk ia masih sekedar tidak
memikirkan apapun belum beranjak ke model berikutnya.
Ini semua sebenarnya adalah hal yang lumrah akan naik turunnya iman
bahkan itu semua nilanya minoritas dalam penelitian ini, akan tetapi yang
terpenting adalah bagaimana kesadaran beragama tersebut sudah terbentuk diusia
remaja pada kalangan masyarkat Betawi. Berbeda dengan anak-anak yang masih
butuh stimulus dalam melaksanakan kegiatan beragama. Mayoritas remaja Betawi
sudah memahami akan pentingnya mengikuti organisasi keagamaan seperti
majelis ta’lim dengan mempelajari agama dan sebagainya, yang semua itu
berguna untuk keagamaan mereka. Keagamaan remaja Betawi dipengaruhi pula
oleh lingkungannya yang membentuk perasaan keagamaannya yang dapat dilihat
dari jawaban-jawaban mereka sebelumnya bahwa perasaan agamis tersebut tidak
akan timbul jika tidak berada dalam lingkungan yang agamis.
Pada kesadaran beragama dan pengalaman beragama orang dewasa,
semakin kuat lagi dengan adanya keyakinan yang teguh dan kesadaran akan
beribadah kepada Tuhan yang kuat sebagaimana analisis penelitian sebelumnya,
dari jawaban mengenai pentingnya agama dapat dilihat bahwa mereka rata-rata
selain untuk persiapan bekal di akhirat, juga menurut mereka sudah menggunakan
agama sebagai bahan dalam menghadapi persoalan hidup. Ini sesuai dengan teori
bahwa orang dewasa sudah hidup dengan landasan agama maupun landasan
norma-norma sosial yang ada dan pemilihan tersebut melewati pemikiran yang
matang dan orang dewasa cenderung realistis, sehingga norma agama diterapkan
dalam sosialnya.
Mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kesadaran beragama dan
pengalaman beragama orang Betawi terdapat pada pendidikan agama mereka.
Pendidikan agama masyarakat Betawi kecamatan Kebon Jeruk yang banyak
berpengaruh adalah pendidikan majelis ta’lim. Sesuai dengan teori seorang Dr.
Ahmad Irfan mengenai kedekatan orang Betawi dengan majelis ta’lim dengan
menjamurnya majelis ta’lim di Jakarta meskipun terdapat pondok pesantren juga,
namun di majelis ta’lim-lah nilai-nilai pendidikan Islam banyak
terinternalisasikan oleh masyarakar Betawi, karena posisinya yang menyatu
dengan pemukiman masyarakat. Dalam majelis ta’lim tersebut tak lepas dari peran
ulama dan para habaib, semua subjek penelitian setuju akan hal itu, ini sesuai
dengan perkataan yang menyebutkan bahwa masyarakat Betawi akan selalu
melekat akan peran agamawannya. Ulama sebagai salah satu komponen sosial
dalam struktur sosial Islam, oleh karena itu ulama dan masyarakat Betawi tidak
dapat dipisahkan bahkan diibaratkan dengan dua sisi mata uang. Dalam
masyarakat Betawi habaib dan para ulama memiliki kedudukan terpandang dalam
kehidupan sosial.
Dalam tradisi Betawi sendiri sangat erat dengan nilai-nilai ke-Islaman,
yang dimana para subjek penelitian pun mengakui akan hal itu, dan meyakini
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
semua itu berpengaruh kepada kesadaran dan pengalaman beragama mereka.
Karena eratnya upacara budaya Betawi dengan nilai keagamaan maka bisa
dikatakan sebagai upacara keagamaan. Terdapat hubungan antara sikap
keagamaan dan tradisi keagamaan dimana keduanya saling memengaruhi satu
sama lain. Bahwa sikap keagamaan mendukung sebuah tradisi keagamaan,
sedangkan tradisi keagamaan mengambil peran sebagai pemberi nilai-nilai dan
norma-norma pada perilaku keagamaan seseorang. Oleh karena itu, pengalaman
beragama dan kesadaran beragama dibentuk oleh tradisi keagamaan yang dimana
terbentuk pula suatu sikap keagamaan yang sesuai dengan adat dan lingkungan
tradisi keagamaan tertentu.
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman, Abdurrahman. (2019). Kesadaran Beragama Pada Anak. Jurnal Al-Irsyad:
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 1(1), 5668.
Alfahmi, Faiz Fikri. (2020). Tinjauan Kritis Fenomena Habaib Dalam Pandangan
Masyarakat Betawi. Islamika; Jurnal Agama, Pendidikan, Sosial Budaya, 11(2),
4763.
Aulina, Belladina, & Nashori, Fuad. (2012). Religiositas dan Stres Menghadapi Ujian
Nasional pada Siswa Sekolah Menengah Umum. Psikologika: Jurnal Pemikiran
Dan Penelitian Psikologi, 17(2), 2128.
Budiman, Haris. (2015). Kesadaran beragama pada remaja islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam, 6(1), 1626.
Derani, Saidun. (2013). Ulama Betawi perspektif sejarah.
Hamali, Syaiful. (2016). Karakteristik keberagamaan remaja dalam perspektif psikologi.
Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 11(1), 8198.
Jalaluddin, Ibu Madrasah Umat. (2016). Fungsi dan Peran Kaum Ibu Sebagai Pendidikan
Kodrati. Jakarta: Kalam Mulia.
Masduki, Damayanti, Sos, S., & Yuliani Widianingsih, S. S. (n.d.). PENGALAMAN
PEMILIH PEMULA DI BELANTARA INFORMASI PILPRES 2019.
Mastanah, Mastanah. (2017). Tradisi Barzanji dalam Majlis Taklim di Betawi di Era
Dunia Modern. Andragogi: Jurnal Diklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan, 5(1),
112124.
Miharja, Deni, Mulyana, M., & Izzan, Ahmad. (2019). Islam, ethnicity, and the politics of
cultural identity among Betawi muslims in Jakarta.
Mulyadi, Mulyadi. (2015). Perkembangan Jiwa Keberagamaan Pada Orang Dewasa Dan
Lansia. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan Dan Konseling Islami, 1(1), 4455.
NURRAHMAN, NURRAHMAN. (2020). Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkan Al-Quran. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Abdullah, Faisal.
Bakat dan Kreativitas. Palembang: Noer Fikri Offset, 2008. Abdurrahmansyah,
Adida Igandi, dan Syarifah.Pengaruh Metode Problem Solving terhadap Berpikir
Kreatif Siswa pada Materi Virus Kelas X di SMA Negeri 1 Sanga Desa. Jurnal
Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains 8, no. 2 (2019): 103-112.
Adminstrator," Visi dan Misi", diakses dari https://www. man2palembang. sch. id,
Tanggal 2 Mei 2020, pukul 15.00 WIB. Adminstrator.Sejarah Singkat. diakses
dari https://www. man2palembang. sch. id, pada tanggal 2 Mei 2020, pukul 14.40
WIB. Ahmadi, Abu dan WidodoSupriyono. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta,
2013. Al-Mubarakfuri, Syaikh Syafiyyurrahman. Tafsir Ibnu Katsir.
Dialihbahasakan: Abu Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2016. Amri,
Sofan. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta:
Prestasi Pustakaraya, 2013. Annur, Saiful. Metodologi Penelitian Pendidikan.
Dicky Setiady / JOSR: Journal of Social Research, 1(11), 191-205
Kesadaran Beragama Dan Pengalaman Beragama Masyarakat Betawi Di
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 191
Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2008. Ansyar, Mohammad. Kurikulum:
Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta: Kencana, 2017. Anwar,
Bakri.Model Pembelajaran Metaphorming. Shaut Al-Arabiyah 7, no. 1 (2019):
78-90. Asrori, M. Perkembangan Peserta Didik: Pengembangan Pedagogis Guru.
Yogyakarta: Media Akademi, 2015. Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir.
Dialihbahasakan: Abdul Hayyie al Katani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press,
2013.———. Tafsir Al-Wasith. Dialihbahasakan: Muhtadi. Depok: Gema Insani,
2012. Aziz, Rahmat. Psikologi Pendidikan: Model Pengembangan Kreativitas
dalam Praktik Pembelajaran. Malang: UIN Maliki Press, 2014. Craft, Anna.
Membangun Kreativitas Anak. Dialihbahasakan: M. Chairul Annam Depok: Inisiasi
Press, 2000. Dahar, Ratna Wilis. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Erlangga, 2011. Darwis, Amri. Metode Penelitian Pendidikan Islam:
Pengembangan Ilmu Berparadigma Islami. Jakarta: Rajagrafindo Pesada, 2014.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara, 2017. Djamarah,
Syaiful Bahar. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka
Cipta, 2014. Dokumentasi Tata Usaha MAN 2 Palembang. Faqih, Allamah Kamal,
Dkk. Nur Al-Quran: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Quran.
Dialihbahasakan: R. Hikmat Danaatmaja. Jakarta: AlHu. UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG.
Putra, Pristian Hadi. (2019). Tantangan pendidikan islam dalam menghadapi society 5.0.
Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02), 99110.
Rahmah, Nur. (2018). Khazanah Intelektual Ulama Betawi Abad Ke-19 Dan Ke-20 M.
Jurnal Lektur Keagamaan, 16(2), 195226.
Saifuddin, Ahmad. (2019). Psikologi Agama: Implementasi Psikologi untuk Memahami
Perilaku Agama. Kencana.
Wakaf, Derektorat Pemberdayaan. (2006). Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Depag RI.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under
the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).